ANTIBIOTIK

ANTIOBIOTIK

Pada awalnya antiobiotik didefenisikan sebagai produk mikroba yang pada konsentrasi rendah dapat menghambat atau membunuh mikroba. Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1940 oleh Waksman untuk membedakan Penicillin yang baru ditemukan dari fungi Penicillium sp. dengan sulfonamida yang dibuat secara sintetik. Defenisi ini menjadi kabur bilamana Penicillin dan produk antimikroba alamiah lainnya dimodifikasi atau disintesis di laboratorium. Oleh karena itu, saat ini istilah antibiotik digunakan secara umum untuk merujuk pada komponen antimikroba yang dibuat secara semi-sintetik atau sintetik penuh yang dapat  bekerja efektif pada konsentrasi rendah. Dengan demikian beberapa senyawa antimikroba atau obat seperti sulfonamid dan kuinolon juga sering digolongkan sebagai antibiotik.

 

2.1. Sumber dan Jenis Antibiotik

Antiobiotik yang secara komersial digunakan dalam pengobatan berbagai jenis penyakit diperoleh dari fungi dan bakteri. Sifat antimikroba dari setiap antibiotik berbeda-beda. Penisilin G (benzil penisilin) bersifat aktif terhadap bakteri gram-positif tetapi kurang/tidak aktif terhadap bakteri gram-negatif; streptomisin memiliki sifat sebaliknya; tetrasiklin bersifat aktif terhadap bakteri gram-positif maupun  bakteri gram-negatif. Berdasarkan sifat ini, antibiotik dapat dikelompokkan atas dua kelompok, yaitu antibiotik berspektrum sempit misalnya benzil penisilin (dan strepromisin, dan antibiotik berspektrum luas misalnya tetrasiklin dan kloramfenikol. Contoh antiobiotik dan jenis mikroba penghasilnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Antiobiotik komersial yang dihasilkan dari mikroba

Jenis Antibiotik Mikroba Penghasil Keterangan
Penisilin A Penicillium sp Aktif terhadap bakteri gram-positif yang tidak mengahasilkan b-Laktamase, tetapi tidak aktif terhadap bakteri gram-negatif
Penisilin G

(Benzil penisilin)

P. chrysogenum Aktif terhadap bakteri gram-positif yang tidak mengahasilkan b-Laktamase, tetapi kurang aktif terhadap bakteri gram-negatif . Dapat diberikan secara parenteral
Penisilin N Cephalosporium acremonium  
Penisilin V

(Fenoksimetil penisilin)

P. chrysogenum Efeknya sama dengan Penisilin G, tetatpi dapat diberikan melalui oral
Tetrasiklin (tetramisin) Streptomyces aurreofaciens,

S. rimosus

Dapat dibuat secara semi-sintetik

Aktif terhadap berbagai bakteri-gram positif dan bakteri gram negatif
Eritromisin S. erythreus

 

Pada infeksi dengan gejala klinik ringan, tidak perlu segera memberikan antibiotik. Menunda pemberian antibiotik malahan memberikan kesempatan terangsangnya mekanisme kekebalan tubuh. Tetapi penyakit dengan gejala klinik berat, walaupun belum membahayakan, apalagi bila telah berlangsung beberapa waktu lamanya, dengan sendirinya memerlukan terapi antibiotik untuk menghindari komplikasi penyakit berbahaya di kemudian hari.

Kadang-kadang dalam aplikasinya, antibiotik dalam diberikan dalam bentuk kombinasi 2 atau lebih antibiotik dengan tujuan untuk pengobatan infeksi campuran, pengobatan awal pada infeksi berat yang etiologinya belum jelas, mendapatkan efek sinergi serta memperlambat timbulnya resistensi mikroba terhadap antibiotik. Antibiotik dan antimikroba yang efektif untuk menyembuhkan infeksi pada manusia disajikan pada Tabel 2.

 

Tabel 2. Pilihan antibiotik untuk pencegahan berbagai jenis

              infeksi yang disebabkan oleh mikroba

Jenis Infeksi Mikroba Penyebab Pilihan Antibiotk/Antimikroba
Infeksi Saluran Nafas  
Faringitis o    Virus

o    Str. pyogenes

o     C. dipththeriae

o    —

o    penisilin V & G, eritromisin

o    penisilin G, eritromisin

Otitis media & sinusitis o    Str. pneumonie & H. influenzae

o    S. aureus

o    amoksilin/ampisilin, eritromisin, kotrimoksazol

o    amoksilin-asam klavulanat

Bronkitis akut o    Virus

o    Str. Pneumonie & H. influenzae

o    M. pneumoniae

o    —

o    amoksilin/ampisilin, eritromisin

o    eritromisin

Bkonkitis kronis o    Str. Pneumoniae & H. influenzae

o    M. pneumoniae

o    B. catarrhalis

o    amoksilin/ampisilin, eritromisin,

o    kotrimoksazol, doksisiklin

o    amoksilin-asam klavulanat,

kotrimoksazol, eritromisin

Influenza o    Virus influenza A atau B o    – —
Pneumonia bacterial o    Str. Pneumonie

 

 

o    H. influenzae

 

o    M. pneumoniae

o    S. aureus

o    Bakteri enterik

        gram-negatif

o    penisilin G prokain, penisilin V, eritromisin, sefalosporin gen. I

o    amoksilin/ampisilin, kotrimoksazol

o    eritromisin, doksisiklin

o    kloksasilin, doksisilin

o    sefalosforin generasi III

 

Tuberkulosis paru o    M. tuberculosis o    isoniazid+fifampisin+pirazinamid/etambutol
Infeksi Saluran Kemih  
Sistitis akut o    E. coli, S. saprophyticus, bakteri gram-negatif lainnya o    Nitrofurantoin, ampisilin,

trimetoprin

 

Pielonefritis akut o    E. coli, bakteri gram-negatif lainnya, Streptococus o    gentamisin, kotrimoksazol parenteral dan oral, sefalosforin generasi III, fluorokuinolon, amoksilin-asam klavulanat
Prostatitis akut o    E. coli, bakteri gram-negatif lainnya, E. faecalis o    kotrimoksazol, fluorokuinolon, aminoglikosid+ampisilin parenteral

 

Prostatitis kronis o    E. coli, bakteri gram-negatif lainnya, E. faecalis o    kotrimoksazol, fluorokuinolon, trimetoprim

 

Infeksi yang Ditularkan melalui Hubungan Kelamin o

 

Uretritis o    N. gonorrhoeae (bukan penghasil penisilinase)

o    N. gonorrhoeae (penghasil penisilinase)

o    C. trachomatis

 

o    Ureaplasma urealyticum

o    ampicillin/amoksilin/penisilin+ probenesid, eftriakson, tetrasiklin

o    seftriakson, fluorokuinolon

 

 

o    deoksisiklin/tetrasiklin,  eritromisin

o    deoksisiklin/tetrasiklin

Herpes genita o    Virus herpes simpleks o    Asiklovir
Sifilis o    T. pallidum

 

o    penisilin G prokain, seftriakson, tetrasiklin
Ulkus mole o    H. ducreyl

 

o    kotrimoksazol, eritromisin, seftriakson, tetrasiklin
Saluran Cerna  
Ginggivitis dan abses gigi o    Infeksi campuran kuman aerob dan anaerob o    penisilin G/ penisilin V

 

 

Kandidiasis oral o    C. albicans o    Nistatin
Enteritis infeksiosa o    Virus

o    Shigella

 

o    V. cholearae

o    E. histolytica

o    C. jejuni

 

o    Berbagai kuman enterik gram negatif lainnya

o    —

o    kotrimoksazol/fluorokuinolon, tetrasiklin

o    tetrasiklin, kotrimoksazol

o    metronidazol

o    eritromisin/ fluorokuinolon, tetrasiklin

o    Umumnya tidak memerlukan antibiotik/antimikroba

Kolesistitis akut o    E. coli, Berbagai kuman enterik gram negatif lainnya, B. fragilis o    ampisillin+gentamisin, ampisillin-sulbuktam
Peritonisis karena perforasi usus o    E. coli, Berbagai kuman enterik gram negatif lainnya, kuman anaerob o    ampisillin+gentamisin+metronidazol/klindamisin, gentamisin+ metronidazol/klindamisin, sefoksitin
Kardiovaskular  
Endokarditis o    Streptococcus

o    Staphylococcus

o    Bakteri gram-negatif

o    penisilin G+gentamisin

o    kloksasilin+gentamisin

o    sefatoksim+gentamisin

Kulit, Otot, Tulang  
Impetigo, furunkel, selulitis dll o    Str. pyogenes dan S. aureus o    kolksasilin/eritromisin,   sefalosporin generasi I

 

Gas gangrene o    C. perfringens o    penisilin G
Osteomyelitis akut o    S. aureus o    Kloksasilin
Susunan Syaraf Pusat  
Meningitis baketrial pada anak/dewasa o    Str. Pneumonia, Staphylococcus,      H. influenzae

o    Meningococcus

o    ampisilin+kloramfenikol (sebagai terapi awal)

 

o    penisilin G, kloramfenikol

Meningitis pada neonatus o    Berbagai bakteri  gram-negatif o    Sefalosporin generasi III
Abses otak o    Streptococcus,           S. aureus, Enterobacteriaceae, berbagai kuman anaerob o    penisilin G+kloramfenikol/

o    metronidazol, Sefalosporin

o    generasi III

Sepsis  
Neonatus o    Str. Agalactiae, Streptococcus lain, bakteri  gram-negatif lain o    ampisilin+aminoglikosid
Anak < 5 tahun o    Str. pneumoniae,   H. influenzae,          N. meningitis,          S. aureus o    kloksasilin/ampisilin+ kloramfenikol atau  ampisilin+kloramfenikol
Anak > 5 tahun dan dewasa o    bakteri  gram-negatif  lain,         S. aureus, Streptococcus o    kloksasilin/sefalosporin gen.I + aminoglikosida atau sefalosporin generasi III/ampisilin-sulbaktam dengan atau tanpa aminoglikosida

 

2.2. Penggunaan Antibiotik

Penggunaan antibiotik dalam bidang kesehatan bertujuan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi. Penggunaan antibiotik ditentukan berdasarkan indikasi dengan mempertimbangkan faktor-faktor berikut:

  1. Gambaran klinik penyakit infeksi, yakni efek yang ditimbulkan oleh adanya mikroba dalam tubuh penderita dan bukan berdasarkan atas kehadiran mikroba tersebut semata-mata
  2. Efek terapi antibiotik pada penyakit infeksi yang diperoleh hanya sebagai akibat kerja antibiotik terhadap biomekanisme mikroba, dan tidak terhadap biomekanisme tubuh penderita
  3. Antibiotik dapat dikatakan bukan merupakan “obat penyembuh” penyakit infeksi dalam arti kata sebenarnya. Antibiotik hanyalah menyingkatkan waktu yang diperlukan tubuh penderita untuk sembuh dari suatu penyakit infeksi.

Seperti diketahui bahwa dengan adanya invasi oleh mikroba, tubuh penderita akan bereaksi dengan mengaktifkan mekanisme daya tahan tubuhnya. Sebagian besar infeksi yang terjadi pada tubuh dapat sembuh dengan sendiri tanpa memerlukan antibiotik. Gejala klinik infeksi terjadi akibat gangguan langsung oleh mikroba atau berbagai senyawa toksik (beracun) yang dihasilkan mikroba. Bila mekanisme pertahanan tubuh bekerja dengan baik, mikroba dan senyawa toksik yang dihasilkannya akan dapat disingkirkan sehingga tidak diperlukan pengunanaan antibiotik. Oleh karena itu untuk memutuskan perlu-tidaknya penggunaan antibiotik, harus diperhatikan gejala klinik, jenis dan patogenitas mikroba, serta kesanggupan mekanisme daya tahan tubuh penderita.

Pada infeksi dengan gejala klinik ringan, tidak perlu segera memberikan antibiotik. Menunda pemberian antibiotik malahan memberikan kesempatan terangsangnya mekanisme kekebalan tubuh. Tetapi penyakit dengan gejala klinik berat, walaupun belum membahayakan, apalagi bila telah berlangsung beberapa waktu lamanya, dengan sendirinya memerlukan terapi antibiotik untuk menghindari komplikasi penyakit berbahaya di kemudian hari.

Kadang-kadang dalam aplikasinya, antibiotik dapat diberikan dalam bentuk kombinasi 2 atau lebih antibiotik dengan tujuan untuk pengobatan infeksi campuran, pengobatan awal pada infeksi berat yang etiologinya belum jelas, mendapatkan efek sinergi, serta memperlambat timbulnya resistensi mikroba terhadap antibiotik.

 

2.3. Mekanisme Kerja Antiobotik

Antibiotik biasanya digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme atau bakteri yang merupakan penyebab utama suatu penyakit. Jenis antibiotik ada bermacam-macam dan masing-masing antibiotik hanya ampuh untuk melawan satu atau beberapa jenis bakteri saja. Tidak ada antibiotik yang dapat melawan semua jenis kuman penyakit. Untuk lebih mengetahui secara mendalam tentang antibiotik, perlu dipahami mekanisme kerja dari antibiotik (Gambar??). Mekanisme kerja antibiotik terdiri dari beberapa kelompok, antara lain adalah:

  1. Antibiotik bekerja dengan menghambat metabolisme sel kuman/bakteri
  2. Antibiotik membantu menghambat sintesis dinding bakteri/sel kuman
  3. Merusak permeabilitas membran atau mekanisme pengangkutan sel kuman/bakteri
  4. Antibiotik membantu menghambat sel kuman dalam mensintesis protein
  5. Membantu menghambat atau merusak asam nukleat sel kuman.

 

 

2.4. Resistensi Mikroba terhadap Antiobotik

Resistensi mikroba terhadap antibiotik atau biasa disebut antibotic resistance atau drug resistance adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antibiotik. Akibat terjadinya resistensi mengakibatkan semakin sulit memberantas mikroba penyebab penyakit tertentu, misalnya TBC, gonorrhea (kencing nanah), malaria dan infeksi telinga pada anak-anak bila dibanding beberapa dekade yang lalu. Sifat resistensi ini dapat merupakan suatu mekanisme alamiah dari suatu mikroba untuk bertahan hidup. Resistensi mikroba ini dapat terjadi karena:

  1. Mutasi spontan; DNA mikroba mengalami perubahan/mutasi spontan akibat penggunaan antibiotik atau faktor lain. tuberclosis penyebab penyakit TBC yang resisten terhadap antibiotik tertentu terjadi karena mutasi spontan
  2. Transformasi; proses pemindahan DNA dari suatu sel yang mengalami lisis (sel donor) ke sel lainnya (sel resipien) dan selanjutnya terjadi rekombinasi. Mikroba penyebab gonorrhea merupakan suatu contoh mikroba yang resisten melalui transformasi
  3. Konjugasi; perpindahan isi sel terutama plasmid pembawa faktor resistensi dari suatu sel ke sel lainnya melalui “hubungan langsung”. Shigella sp penyebab diare merupakan contoh mikroba yang resisten terhadap 4 jenis antibiotik melalui proses ini.
  4. Transduksi, proses pemindahan plasmid pembawa faktor resistensi dari suatu sel ke sel lainnya melalui perantaraan bakteriofag.

 

 

Secara umum ada 5 mekanisme resistensi mikroba terhadap antibiotik sebagai berikut:

  1. Perubahan tempat kerja (target site) antibiotik pada mikroba
  2. Mikroba menurunkan permeabilitasnya sehingga antibiotik sulit masuk ke dalam sel
  3. Inaktivasi antibiotik oleh mikroba
  4. Mikroba membentuk jalan pintas untuk menghindari tahap yang dihambat oleh antibiotik
  5. Mikroba meningkatkan produksi enzim yang menghambat aktivitas antibiotik

 

Beberapa faktor penyebab terjadinya resistensi mikroba terhadap antibiotik dan obat antara lain:

  1. Dosis dan jenis antibiotik yang kurang tepat
  2. Kesalahan dalam menetapkan etiologi/penyebab penyakit
  3. Perilaku pasien misalnya kurang/tidak teratur mengkonsumsi obat yang diberikan, tidak menghabiskan antibotik atau obat sesuai yang disarankan dan lain-lain.

 

 2.5. Efek Samping Antibiotik

Efek samping karena penggunaan antibiotik dapat dikelompokkan atas 4 bagian besar yaitu:

  1. Reaksi Alergi. Reaksi ini dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik yang melibatkan sistem kekebalan tubuh penderita dan biasanya hal ini terjadi tanpa bergantung pada dosis antibiotik yang digunakan. Reaksi alergi yang ditimbulkan ada yang dapat hilang dengan sendirinya walaupun terapi dilanjutkan. Sebaliknya ada yang berlanjut menjadi alergi yang makin berat pada pemberian ulang berupa anafilaksis, dermatitis eksfoliativa, angioudema dan lain-lain.
  2. Reaksi Idiosinkrasi. Gejala ini merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara genetik terhadap pemberian antibiotik tertentu. Sebagai contoh, 10% pria berkulit hitam akan mengalami anemia hemolitik berat bila mendapat primakuin. Hal ini disebabkan mereka kekurangan enzim G6PD.
  3. Reaksi Toksik. Efek toksik pada tubuh dapat ditimbulkan oleh semua jenis antibiotik. Yang mungkin dapat dianggap kurang toksik sampai saat ini adalah golongan penisilin. Golongan aminoglikosida pada umumnya toksik terhadap Nervus octavus, tetrasiklin mengganggu pertumbuhan jaringan tulang termasuk gigi, bahkan dalam dosis besar dapat menyebabkan hepatotoksik terutama pada penderita pielonefritis dan wanita hamil. Demikian pula antibiotik lainnya mempunyai efek samping masing-masing. Selain jenis antibiotik, berbagai faktor dalam tubuh dapat turut menentukan terjadinya reaksi toksik misalnya organ/jaringan tertentu yang berperan dalam biotransformasi dan ekskresi antibiotik.
  4. Perubahan Biologik dan Metabolik. Penggunaan antibiotik tertentu terutama yang berspektrum luas dapat menyebabkan terjadinya perubahan jenis dan jumlah mikroba yang hidup pada tubuh. Gangguan keseimbangan ekologik mikroflora normal dapat terjadi di saluran pencernaan & pernapasan, kelamin dan kulit. Akibat lebih jauh bisa terjadi superinfeksi yaitu suatu infeksi baru yang terjadi akibat terapi infeksi primer dengan suatu antibiotik. Pada pasien yang lemah, superinfeksi potensial dapat sangat berbahaya, sebab kebanyakan mikroba penyebab superinfeksi biasanya terdiri dari bakteri gram-negatif, Staphylococcus, Candida dan fungi sejati. Terapi antibiotik akan semakin sulit bila superinfeksi dialami oleh mikroba yang sudah resisten. Diantara antibiotik, penisilin G merupakan penyebab superinfeksi yang paling jarang terjadi. Selain menimbulkan perubahan biologik, penggunaan antiobiotik misalnya neomisin dapat pula menimbulkan gangguan penyerapan atau metabolisme zat gizi tertentu.

National Institute of Health (2004) melaporkan bahwa hampir 2 juta pasien di Amerika Serikat terkena infeksi di rumah sakit setiap tahun dan mengakibatkan kematian sebanyak 90.000 orang per tahun. Hal yang sama dilaporkan oleh ahli Epidemiologi dalam The New England Journal of Medicine (2003) bahwa sekitar 5 – 10% pasien yang masuk rumah sakit menderita infeksi selama mereka dirawat inap.  Lebih lanjut dilaporkan bahwa lebih dari 70% dari bakteri penyebab infeksi  di rumah sakit telah resisten terhadap paling kurang 1 jenis antibiotik atau obat yang biasa digunakan untuk mengobati mereka. Selain itu rawat inap pasien tersebut menjadi lebih lama dan membutuhkan perawatan dan penggunaan obat yang lebih bersifat toksik dan harga yang mahal. Memperhatikan gangguan atau efek samping yang diakibatkan oleh penggunaan antibiotik, maka para mikrobiolog dan ahli kesehatan telah mencoba untuk mencari alternatif lain, misalnya dengan pemanfaatan mikroba yang disebut “probiotik”.